Cari Blog Ini

Jumat, 29 Januari 2010

Makalah ushul fiqh perbandingan dalalah khas tahshis dan 'am dalam perspektif empat madzhab





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. bagaimanakah pengertian lafadz 'Aam dan bagimana dilalah lafadz nya?
2. bagaimana bentuk ( shigat ) lafadaz 'aam?
3. bagaimanakah pengertian lafadz Khas dan dilalahnya?
4. bagaimanakah pengertian Takhsis?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafadh ‘Am
1. Pengertian Lafadh ‘am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah),
“Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali),
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi) .
menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih"
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:
لا يقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضاء
“Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”.
Hadits ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat mu’akadah saja.
2. Bentuk-Bentuk Lafadz ‘Am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:
a. Lafadz كل (setiap) dan جميع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah;
   
"Tiap-tiap yang berjiwa akan mati". (Ali 'Imran, 185)
    •   
"Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami'an)". (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل dan جميع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
          • 
"Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya". (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma'rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
 •     
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al_baqarah: 275).
Lafadz al-bai' (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma'rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma' al-Mawshul. Seperti ma, al-ladhina, al-lazi dan sebagainya.
Salah satu contoh adalah firman Allah:
•             
"Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma' al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
   •            
"dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah".(An-Nisa':92)
f. Isim Nakirah dalam susunan kalimat nafi' (negatif),
seperti kata ولا جناح dalam ayat berikut:
          
"dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya". (Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah Lafadz ‘am
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: "Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan mereka didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi
العمل بالعام قبل البحث عن المحتص لا يجوز
" mengerjakan sesuatu berdasarkan dalil/alfadh aam sebelum diteliti ada tidaknya pentakhsisnya tidak deperbolehkan"
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama', Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath'iy dalalahnya , selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
        
"dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya". (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المسلم يذبح علي اسم الله سميّ أو لم يسم
"Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak." (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath'iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya. Ulama Syafi'iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadist dzanny pula wurudnya dari nabi Muhammad SAW
4. Macam-macam lafadz ‘am
a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
                
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
                   
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contohnya:


Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.

B. Lafadh Khash
1. Pengertian Lafadh Khas
Pegertiannya adalah “suatu lafadh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” (Al-Bazdawi). Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu.
Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri.
Lafas Khas kadang-kadang berbentuk mutlaq (tanpa dibatasi oleh suatu syarat qayyid apapun), muqayyad (dibatasi oleh qayyid), amr (berbentuk perintah), dan nahy (berbentuk larangan) .
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.Menurut istilah, definisi khas adalah:"Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad . Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu".
Contoh, dalam Al-qur’an “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”. Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam sholat itu sebagai mana lafaz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Ruku’ yang diperintahkan itu merupakan fardhu sholat tanpa tuma’minah, sebaliknya ada hadis yang memerintahkan tuma’minah,
“Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat.” Menurut mereka bila tuma’minah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafazh kkas Al-Qur’an yang jelas. Sehingga tuma’minah tidak fardu
Sementara menurut Golongan Syafi’i, tuma’minah yang disyaratkan oleh hadis ini merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.
2. Dalalah Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
       
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
Lafadh tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath'iy dan dalalah hukumnya pun qath'iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain . Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
في كل أربعين شاة شاة
"pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing".
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath'iy.
Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

C. Takhshish
1. Pengertian Takhshish
Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadh Aam dan lafadh aam itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. (yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadh/dalil aam) sesudah di takhsis
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadh khas, tidak bisa terlepas dari takhshish. Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti
واحل لكم وراء ذلكم
“Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)”
ditakhsis dengan hadits
“Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.
Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep masakh mansukh.

2. Macam-Macam Takhshish
a. Mentakhshish ayat Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an. Misalnya:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
        
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4)
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya
Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:
                       
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49).
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

b. Mentakhshish Al-Qur'an dengan As-Sunnah.
Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:
    
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لا تقطع يد السارق الا في ربع دينار فصاعدا
"Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar". (H.R. Al-Jama'ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

c. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi:
لا يقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضاء
"Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu". (Muttafaq 'Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6:
                     
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah.
Misalnya hadits Nabi SAW:
فيما سقت السماء العشر
"Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh". (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة"
Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)'. (Muttafaq Alayh).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
e. Mentakhsish Al-Qur'an dengan Ijma'.
Contohnya
               

apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum'ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum'at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma') bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum'at.
f. Mentakhshish Al-Qur'an dengan qiyas. Misalnya:
• •  •    
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur:2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa' ayat 25:
              
Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa':25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:
من بدل دينه فاقتلوه
"Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia". (Muttafaq Alayh).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja .
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.







BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Pegertiannya adalah “suatu lafadh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”. Atau pengertian yang lain adalah “Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” Al-Bazdawi.
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain
Macam-Macam Takhshish
a. Mentakhshish ayat Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an
b. Mentakhshish Al-Qur'an dengan As-Sunnah
d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah
e. Mentakhsish Al-Qur'an dengan Ijma'
f. Mentakhshish Al-Qur'an dengan qiyas
g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat



DAFTAR PUSTAKA

- H.A. Djazuli, Nurolaen, 2000, Ushul Fiqh Metodologi Hokum Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- H. A. Syafi'i Karim, 1997, fiqih ushul fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
- Mu'in, H. Asymuni Dkk. . 1986 Ushul fiqh qidah-qidah istinbath dan ijtihad. Dirjend pembinaan kelembagaan agama islam Depag.
- H. Amir syarifuddin,1999, ushul fiqh jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
- Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Al-Hidayah. Surabaya
- http://masguru.weblog.com/2008/11/LAFADZ-AM-DAN-LAFADZ-KHAS.html. akses 02 januari 2009
- http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ushul-fiqih/Options

makalah khulu' dan fasakh


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: “Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih saying dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.
Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci olehNya (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini agar pembahasan lebih terfokus ada beberapa rumusan masalah di antaranya:
1. Apa penrertian khulu dan fasakh?
2. apa akibat hokum khuli’ dan fasakh?


BAB II
PEMBAHASAN

1. KHULU’
A. Pengertian Khulu’
Al-Khulu, dalam bahasa Indonesia disebut Gugatan cerai. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus”

B. Hukum AL-Khulu’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy
Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu,

C. Ketentuan Hukum Al-Khulu
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.
[1]. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [11]
[2]. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]
b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]
[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]
[4]. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur .

D. Cara Menjatuhkan Khulu
Secara umum khulu dapat dilakukan denghan tiga cara: pertama menggunakan kata khulu’, kedua menggunakan kata cerai (thalak), dan ketiga dengan kiasan yang di sertaio dengan niat.
Dalam qaul qodim imam syafi’I berpendapat bahwa khulu yang dilakukan denghan menggunakan kata-kata kiasan mengakibatkan fasakh perkawinan. Yaitu perkawinan itu batal dengan sendirinya. Dan akad pernikahan tidak berlaku. Sedangkan dalam qaul jadid beliau berpendapat bahwa khulu yang dilakukan dengan menggunakan kata kiasan tidak mengakibatkan fasakh perkawinan karena kata-kata kinayah dalam talak tidak memerlukan niat begitu pula khulu.

E. Hikmah Khulu’
Mengenai hikmah khulu al Jurjawi menuturkan:
Khulu sendiri sebenarnya di benci oleh syariat yang mulia seperti halnya talak. Semua akal sehat dan perasaan sehat menolak khulu’ hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hokum-hukum Allah.

Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah manolak bahaya yaitu apabila perpecahan antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syari’at-syariat dalam kehidupan suami istri, maka khulu dengan cara yang telah di tetapkan oleh Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan untuk menegakan hokum-hukum Allah.

2. FASAKH

A. Pengertian
Fasakh adalah surak atau putusnya perkawinan melaluoi pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuati yang diketahui setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelsah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan .
Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh yaitu fasid. Maksud dari fasid adalah merupakan siuatu putusanb pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hokum, hal itu disebabkan misalnya tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun nukah atau disebabkan di langgarnya ketentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut.

B. Akibat Hukum
Perceraian yang diakibatkan fasakh tidak mengurangi bilangan talak sebab fasakh bukan bagian dari talak. Jadi kalau yang telah bercerai itu kemudian kembnali melalui pernikahan yang baru setelah menyadari dan rela dengan keadaan seperti apa adanya, talak yang dia kiliki masih utuh.
Jiaka pemisahan itu terjadi sebelum terjadi hubugan suami istri, maka tidak ada mahar bagi istri. Apakah pemisalah itu dari puhak suami atau pihak istri, sebab jika fasakh itu dari pihak istri maka haknya gugur dan jika pemisahan itu datang dari pihak suami dan hal itu di sebabkan cacat yang di sembunyikan oleh istri terhadap suaminya maka ia tidak berhak mendapatkan mahar. Namun jika pemisahan dilakukan sesudah terjadi hubungan suami istri maka ia berhak mendapatkan mahar dan pemisahan dilakukan oleh hakim (pengadilan)
Dan seorang suami tidak boleh dengan sengaja berlaku buruk di dalam mempergauli istrinya dengan maksud agara istri menyerahkan harta(mahar) nya.kepada suami sebagai ganti rugi atas permintaannya (ayat surat an-Nisa 19)

C. Yang Menyebabkan Faskh
Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari suami istri mengetahui ada ‘aib pada pihak lain sebelum ‘aqad nikah itu diketahuinya sesudah ‘aqad tetapi ia sudah rela secara tegas ata8u ada tanda yang menunjukan kerelaanny maka ia tidak mempunyai hak lagi untuk meminya fasakh dengan alas an ‘aib itu bagaimanapun.

Ada 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya:
Tiga berada dalam keduanya (suami-istri) yaitu: gila, penyekit kusta dan supak.
Dua terdapat dalam laki-laki yaitu: ‘unah (lemah tenaga persetubuhannya), impoten
Tiga lagi berasal dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang menghalangi persetubuhan, tumbuh kemaluan dan tumbuh dagingdalam kemaluan, atau terlaluy basah yang menyebabkan hilangnya kenikmatan persetubuhamn
Ketika suami pergi tidak tahu kemana istri tidak boleh di fasakhkan sebelum benar-benar diketahui kemana suaminya itu pergi. Akan tetapi menurut maliki di tangguhkan sampai 4 tahun sesudah itu difasakhkan oleh hakim atas tuntutan istri
Sebagian ulama berpendapat hakim boleh memasakhkan sesudah di beri masa tenggang yang dipandang perlu oleh hakim. Paling baikdi tunggu 4 tahun mengingat perhubungan di masa itu sukar dan sulit

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa kesimpulan dantaranya:
Khulu’ maupun fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (isteri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, isteri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui khulu’ maupun fasakh.
Hokum khuliu tergantung situasi yang ada pada saat itu.
Begitu juga dalam fasakh.


DAFTAR PUSTAKA

Sa’id Abdul Aziz Al-Jandul, Wanita Diantara Fitrah, Hak Dan Kewajiban, Pustaka Dariul
Haq, Jakarta: 2003
Rahmat Hakim Hokum Perkawinan Isalm, Pustaka Setia, Bandung: 2000
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta: 2006
Jaih Mubarok, Modifikasi Hokum Islam, Rajawali Pers, Jakarta:2002
Sayyid sabiq Shahih Fiqhis Sunnah
Taudhihul Ahkam, juz 5
Hasby Ash-Sidiqi, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1991

makalah lembaga pengelolaan zakat



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kondisi nasional pendiri lembaga pengelolaan zakat sebenarnya adalah untuk memenuhi kemaslahatan, dimana semua komponen bangsa dituntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Demikian pula dengan umat Islam merupakan salah satu komponen bangsa yang wajib ikut serta dalam mengisi dan melanjutkan usaha-usaha pembangunan itu. Bahkan umat Islam merupakan komponen dominan dan potensial dalam mengisi pembangunan tersebut. Islam secara menyeluruh memerintahkan umatnya untuk membangun umat dan bangsanya. Perintah islam itu dibarengi pula dengan tuntunan oprasional mengenai bagaimana pembangunan itu dilakukan.
Salah satu kendala yang banyak dihadapi oleh umat islam dalam pembangunan tersebut ialah keterbatasan biaya. Persoalan inilah merupakan persoalan yang sangat sulit dipecahkan. Biaya yang paling dominan dalam pembangunan bukanlah dana yang besar dari bantuan pihak lain, melainkan dana yang digali dari potensi sendiri berupa pemberdayaan potensi ekonami umat atau bangsa.
Masalah yang mungkin akan muncul ialah tentang kepastian hukum bagi para wajib zakat yang tidak menunaikan kewajibannya. Sehingga perlu dibuat kompilasi hukum Islam tentang zakat. Dari masalah itu muncullah Badan Amil Zakat (BAZ) untuk manangani masalah-masalah zakat dan bagai mana cara pengolaan dan penyaluran yang salah satunya menjadi sumber dana umat.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Lembaga Pengelolaan Zakat itu ?
2. Bagaimana persyaratan dari Lembaga Pengelolaan Zakat ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip Lembaga Pengelolaan Zakat ?
4. Bagaimana tugas dan fungsi Lembaga Pengelolaan Zakat ?
5. Bagaimana alur pengumpulan dan penyaluran zakat dalam Lembaga Pengelolaan Zakat ?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Lembaga Pengelolaan Zakat adalah kata lain dari Badan Amil Zakat (BAZ), intuisi sebelumnya bisa disebut dengan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh). Sedangkan pengertian BAZIZ secara istilah antara lain ditemukan dalam surat keputusan bersama (SKB) Mentri Dalam Negri dan Mentri Agama Nomor 29 Tahun 1991 / 57 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, infaq dan shadaqoh. Dalam pasal 1 SKB tersebut disebutkan bahwasanya yang disebut BAZIZ adalah “Lembaga swadaya masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq, shodaqoh secara berdaya guna berhasil guna.”
Secara subtansi, Pengertian tersebut dapat ditemukan pula dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, kemudian dipertegas lagi dalam keputusan Mentri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dalam pasal 1 ayat 1 keputusan Mentri disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Amil Zakat (BAZ) adalah: organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendaya gunakan zakat sesuai dengan ketentuan Agama.
Dari kedua pengertian diatas SKB Mentri Dalam Negri dan Mentri Agama serta UU Nomor 38 Tahun 1999, tampak ada perbedaan. Menurut SKB, BAZUS itu adalah Lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat, sedangkan menurut UU Nomor 38 Tahun 1999, BAZIS itu dibentuk oleh pemerintah. Untuk menangani perbedaan persepsi itu, maka dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2 selain Badan Amil Zakat dilengkapi pula dengan Lembaga Amil Zakat yang sama pengertiannya dengan BAZIS yang dikemukakan SKB. Dengan demikian, dalam struktur organisasi pengelolaan zakat menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 dibedakan antara Badan Amil Zakat dengan Lembaga Amil Zakat. Kalau BAZ dibentuk oleh pemerintah sedangkan LAZ dibentuk atas prakasa masyarakat.
Namun demikian, kedua pengelola zakat itu memiliki tugas dan fungsi yang sama yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan harta zakat yang dikumpulkan oleh umat Islam. Zakat sendiri mempunyai pengertian yaitu shadaqoh wajib yang berupa jumlah tertentu dari harta seseorang yang beragama Islam yang telah mencapai nisab atau haul, trus diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Zakat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Zakat fitrah.
Zakat yang wajib dikeluarkan pada setiap akhir bulan Ramadhan oleh setiap muslim dan keluarga yang ditanggungnya yang memiliki kelebihan makanan untuk sehari pada hari raya Idul Fitri.
b. Zakat mal (harta).
Zakat atas harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai nisab atau haul.

2. Persyaratan Lembaga Pengelolaan Zakat.
Yusuf al Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum mislim yang termasuk rukun Islam (rukun Islam ketiga), karena itu sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesame muslim.
2. Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
3. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Serta keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparasi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggung jawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariat Islamiyyah.
4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.dengan pengetahuan tentang zakat yang relative memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat tersebut.
5. Memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Amana dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melakukan tugas. Perpaduan antara amanah dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan kinerja yang optimal.
6. Hemat penulis, adalah kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak tidak pula sambilan (tidak cekatan / hanya menunggu bola).

3. Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelolaan Zakat.
Dalam pengelolaan baik zakat, infaq dan shadaqoh terdapat beberapa prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelola dapat berhasil guna sesuai dengan yang diharapkan, prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip keterbukaan, suka rela, keterpaduan, profisionalisme, dan kemandirian.
Prinsip keterbukaan artinya dalam pengelolaan hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dipercaya oleh umat.
Prinsip kedua yaitu sukarela berarti bahwa dalam pemungutan dan pengumpulan hendaknya senantiasa berdasarkan prinsip suka rela dari umat Islam yang menyerahkan dan tidak boleh ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dapat dianggap sebagai suatu pemaksaan. Dan harus lebih diarahkan kepada motivasi yang bertujuan memberikan kesadaran kepada umat islam agar membayar kewajibannya.
Prinsip ketiga yaitu keterpaduan artinya sebagai organisasi yang berasal dari swadaya masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya meski dilaksanakan secara terpadu diantara komponen-komponennya.
Prinsip keempat yaitu profesionalisme bahwa dalam pengelolaan harus dilakukan oleh mereka yang ahli dibidangnya, baik dalam administrasi, keuangan dan lain sebagainya dan juga dituntut memiliki kesungguhan dan rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan akan lebih sempurna apabila dibarengi dengan sifat amanah.
Prinsip terakhir adalah kemandirian, sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip profesionalisme, yang diharapkan mampu menjadi lembaga swadaya masyarakat yang mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.

4. Tugas dan Fungsi Lembaga pengelolaan Zakat
Sebagaimana termuat dalam pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999 tugas pokok lembaga pengelola Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana termuat dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 29 Tahun 1991 / 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola, penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan shadaqoh dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.
Petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh institus Managemen Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi lembaga pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut:
1. Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.
2. Dewan Pertimbangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekreteris dan anggota.
3. Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota.
4. Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan pendayagunaan.
5. Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur pemerintah terdiri atas unsur ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait.

Fungsi dan tugas pokok pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) antara lain:
a. Dewan Pertimbangan
1). Fungsi
Memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi kepada badan pelaksana dan komisi pengawas dalam pengelolaan Badan amil Zakat, meliputi aspek syari’ah dan aspek manajerial.
2). Tugas Pokok
(1). Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat.
(2). Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
(3). Mengeluarkan fatwa syari’ah baik diminta atupun tidak berkaitan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat.
(4). Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak diminta.
(5). Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
(6). Menunjuk akuntan publik.

b. Komisi Pengawas
1). Fungsi
Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana.
2). Tugas Pokok
1). Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan.
2). Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan.
3). Mengawasi oprasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendaya gunaan.
4). Melakukan pemeriksaan oprasional dan pemeriksaan syari’ah.

c. Badan Pelaksana
1). Fungsi
Sebagai pelaksana pengelolaan zakat.
2). Tugas Pokok
1). Membuat rencana kerja.
2). Melaksanakan oprasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
3). Menyusun laporan tahunan.
4). Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah.
5). Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat ke dalam maupun ke luar.

Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelolaan zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secar terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum’at, media ta’lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, aman dan tepercaya.



5. Bagaimana alur pengumpulan dan penyaluran zakat dalam Lembaga Pengelolaan Zakat.
Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat, harus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para mustahik sebagaimana tersurat dalam surah at-Taubah: 60 yang uraiannya antara lain sebagai berikut :
Pertama fakir dan miskin. Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknik oprasional sering dipersamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-harinya dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya.
Kedua kelompok amil. Kelompok ini berhak mendapatkan bagian dari zakat, maksimal satu perdelapan atau 12,5 %, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika hanya di akhir bulan ramadhan saja (biasanya hanya pengumpulan zakat fitrah saja), maka seyogyanya para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat satu perdelapan, melainkan hanyalah sekadarnya saja untuk keperluan administrasi ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya 5% saja termasuk biaya transportasi.
Ketiga kelompok muallaf, yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Mereka diberi agar bertambah kesungguhannya dalam ber-Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan sebab masuk Islam tidak sia-sia. Bahwa Islam dan umatnya sangat memperhatikan mereka, bahkan memasukkanya kedalam bagian penting dari salah satu Rukun Islam yaitu Rukun Islam ketiga.
Keempat dalam memerdekakan budak belian. Artinya bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan. Para ulama berpendapat bahwa cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua hal, yaitu:
1. Menolong pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya.hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah an-Nuur 33
               •    
“…..Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu….”

2. Seseorang atau sekelompok orang dengan uang zakatnya atau petugas zakat dengan uang zakat yang telah terkumpul dari para muzakki, membeli budak atau ammah (budak perempuan) untuk kemudian membebaskannya. Masalah riqab (budak) ini sesungguhnya terkait dengan masalah lainnya di luar zakat,
Kelima kelompok gharimin, atau kelompok yang berhutang, yang sama sekali tidak melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu kelompok yang mempunyai utang untuk kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya. Misalnya untuk membiayai diri dan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai pendidikan. Kelompok yang kedua yaitu kelompok yang mempunyai utuang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain. Misalnya orang yang terpaksa berutang karena sedang mendamaikan dua pihak atau dua orang yang sedang bertentangan, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Atau orang yang dan kelompok orang yang memilki usaha kemanusiaan yang mulia, yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya. Misalnya yayasan social yang melibatkan anak yatim, orang-orang lanjut usia, orang-orang fakir, panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok pesantren, dll
Keenam dalam jalan Allah SWT (fi Sabilillah). Pada zaman Rasulullah saw golongan yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji yang tetap. Tetapi berdasarkan lafaz sabilillah di jalan Allah SWT, sebagian ulama membolehkan memberi zakat tersebut untuk membangun masjid, lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’I, menerbitkan buku, majalah, brosur, dll
Ketujuh ibnu sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk saat sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama, seperti silaturahmi, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus pendidikannya karena ketiadaan dana.
Untuk umat muslim semua yang merasa berlebihan harta secepatnya dikeluarkan zakatnya, karena itu adalah hak delapan asnaf. Disisi social zakat bias mempererat tali persaudaraan karena kita semua adalah sama yang membedakan nya hanya ketaqwaan kepada Allah SWT, Istilah Tulungagung Guyub Rukun. Seperti halnya dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam surah at-Taubah 71,
              •         •    
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”






BAB II
KESIMPULAN
1. Badan Amil Zakat dan Lembaga Pengelola Zakat menurut undang-undang 38 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 ialah : organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah, dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. BAZ didirikan oleh pemerintah sedangkan LAZ didirikan atas prakasa masyarakat.
2. Seorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan yaitu :
a. Beragama islam.
b. Mukallaf.
c. Memiliki sifat amanah atau jujur.
d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat.
e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas.
f. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya.
3. Prinsip-prinsip lembaga pengelola zakat yaitu keterbukaan, sukarela, keterpaduan, profesionalisme dan kemandirian.
4. Pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999 tugas pokok lembaga pengelola Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana termuat dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 29 Tahun 1991 / 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola, penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan shadaqoh dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.
5. Zakat bersumber dari muzakki, dan diltampung lewat lembaga pengelolaan zakat trus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Serta sasaran yang berhak menerima zakat yaitu orang-orang faqir, orang-orang miskin, amil zakat, muallaf, untuk memerdekakan budak, kelompok gharim, fi sabilillah, ibnu sabil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hafidhuddin, DR. K.H Didin. M. SE. Zakat Dalam Perekonomian Modern. 2002. Jakarta : Gema Insani.
2. Dzajuli, Prof. H. Ahmd. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. 2002. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
3. Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, Beirut : Muassasah Risalah, 1991.
4. Suyitno. Junaidi, Heri. Abdushomat, M. Abid, GJA. Anotomi Fiqh Zakat. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .
5. Ash-Shiddieqy, Muhammad, Hasbi, Tengku. Pedoman Zakat. 1991. Jakarta : Bulan Bintang.

Distibusi menurut Muhammad Baqir as-sadr



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Distribusi pendapatan merupakan permasalahan yang sangat rumit, hingga saat ini masih sering dijadikan bahan perdebatan antara ahli ekonomi. Sistem ekonomi kapitalis memandang seorang individu dapat secara bebas mengumpulkan dan menghasilkan kekayaan (pendapatan) dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki serta tidak ada batasan untuk memanfaatkan dan membagi harta yang dimiliki.
Sementara system ekonomi sosialis berpendapat bahwa kebebasan secara mutlak dapat membahayakan masyarakat. Oleh karena itu hak individu atas harta harus dihapuskan dan wewenang harus dialihkan kepada negara sehingga pemerataan dapat diwujudkan.
Kedua sistem ekonomi tersebut ternyata belum dapat memberikan solusi yang adil dan merata terhadap masalah pendistribusian pendapatan dalam masyarakat. Untuk itu Islam membeikan prinsip dasar distribusi kekayaan dan pendapatan yaitu: "…supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu…" (Qs.Al_Hasr:7)
Maksudnya, ayat diatas menjelaskan bahwa Islam mengatur distribusi harta kekayaan termasuk pendapatan kesemua masyarakat dan tidak menjadi komoditas diantara golongan orang kaya saja. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antar sesama manusia akan kesamaan hak hidup.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pokok pemikiran ekonomi Muhammad Baqir As-Sadr ?
2. Bagaimana pengertian Distribusi pendapatan?
3. Bagaimana pokok pemikiran ekonomi Muhammad Baqir As-Sadr tentang Distribusi?
4. Bagai mana peran pemerintah dalam distribusi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Muhammad Baqir As-Sadr
Asy-Syahid Muhammad Baqir As-Sadr dilahirkan di Kadhimiyeh, Baghdad pada tahun 1935. Sebagai keturunan dari sebuah keluarga sarjana dan intelektual Islam Syi'ah yang temasyur, dia memilih untuk menuntut pengajaran Islam tradisional di hauzah atau sekolah tradisional di Iraq, dan di situ dia belajar fiqh, ushul dan teologi.
Ia amat menonjol dalam prestasi intelektualnya, sehingga pada umur 20 tahun telah memperoleh derajat mujtahid mutlaq, dan selanjutnya meningkat lagi ke tingkat otoritas tertinggi marja (otoritas pembeda). Otoritas intelektual dan spiritual di dalam tradisi Islam tersebut juga terwujud di dalam tulisan-tulisan Sadr, dan di dalam karyanya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) ia menunjukkan metodologi pernyataan tegas yang independen tetapi memenuhi syarat.
Sekalipun memiliki latar belakang tradisional, Sadr tidak pernah terpisah dari isu-isu kontemporer. Minat intelektualnya yang tajam mendorongnya untuk secara kritis mempelajari filsafat kontemporer, ekonomi, sosiologi, sejarah dan hukum. Secara terus-menerus ia menyuarakan pandangan-pandangannya mengenai kondisi kaum Muslimin dan membicarakan keinginan untuk merdeka, tidak saja kekangan politik namun juga dari 'pemikiran dan gagasan'.
Sedangkan kondisi di Iraq mendorongnya untuk mendirikan Hizg ad-Da'wah al-Islamiyah (Partai Dakwah Islam), yakni sebuah partai yang menyatukan para pimpinan agama dan kaum muda untuk melawan gelombang sosialisme Ba'ats yang mengambil kekuasaan politik pada tahun 1985.
Karyanya Falsafatuna (Filsafat Kita) dan kemudian Iqtishaduna, memberikan suatu kritik komparatif terhadap kapitalisme maupun sosialisme, dan pada saat yang sama menggambarkan pandangan-dunia (worldview) Islam bersama dengan garis-garis besar sistem ekonomi Islam. Di seluruh tulisannya, ia berusaha untuk membangkitkan kembali tradisi Islam bagi kaum Muslimin modern, terutama kaum mudanya.
Dekade terakhir dari kehidupannya merupakan suatu periode penganiayaan oleh rezim Ba'ats di Iraq. Karena takut akan pengaruhnya kepada massa, dan sesudah memenjarakan dan menyiksanya, rezim Ba'ats menjatuhkan hukuman mati kepadanya pada tanggal 8 April 1980.

B. Pokok Pikiran Muhammad Baqir As-Sadir
Menurut Sadr ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Bagi Sadr, Islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran, tidak pula mengurusi hubungan antara laba dan bunga, tidak pula juga fenomena diminishing return di dalam produksi.
Menurutnya ekonomi Islam adalah sebuah doktrin, semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai (keadilan sosial) . Di dalam doktrin ekonominya, keadilan menempati posisi sentral. Keadilan merupakan penilaian moral dan tidak dapat diuji. Sebaliknya, ia merupakan rujukan atau tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan keluaran ekonomi.
Sadr melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam secara keseluruhan, dan bersiteguh bahwa ia haruslah dipelajari sebagai suatu 'keseluruhan' interdisipliner. Sadr menyarankan agar orang memahami dan mempelajari pandangan dunia Islam lebih dahulu jika ingin mendapatkan hasil yang memuaskan dalam menganalisis sistem ekonomi Islam.
Sadr melihat manusia mempunyai dua kepentingan yang saling bertentangan secara potensial, yakni kepentingan pribadi dan sosial. Persoalanpun muncul dan Sadr melihat bahwa solusinya ada pada agama, dan inilah peran yang dimainkan oleh agama dalam sistem ekonomi Islam.
Di dalam pemikirannya, Sadr membedakan produksi dan distribusi, tetapi ia melihat hubungan antara keduanya sebagai persoalan sentral di dalam ekonomi. Jika produksi merupakan suatu proses yang dinamis, yang berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka distribusi dianggap sebagai bagian dari sistem sosial, yakni bagian dari hubungan total antar manusia.
Sistem sosial muncul dari kebutuhan manusia, bukan dari cara-cara produksi. Oleh karenanya, ia yakin bahwa bisa saja suatu sistem sosial (termasuk distribusi) tetap dipakai sekalipun alat maupun bentuk produksi bsrubah-ubah.
Doktri ekonomi Islam menurutnya adalah pondasi tempat terbentuknya hukum-hukum yang berhubungan dengan ekonomi. Sadr mengemukakan gagasannya berupa proses penemuan. Di dalamnya, semua hukum dan aturan 'ekonomi' dipelajari bersama dan kemudian dipakai untuk menemukan doktrin ekonomi. Dengan kata lain, jika hukum-hukum telah di kumpulkan, maka pondasi doktrin hukun-hukum itu pun akan dapat ditemukan di dalam sumber-sumber Islam.
Untuk itu diperlukanlah ijtihad untuk menjembatani antara prinsip-prinsip yang bersifat tetap atau permanen dan hukum-hukum yang bersifat fleksibel, guna menentukan batas-batas penyelidikan dan atau secara teoritis, mengatur hukum-hukum dan konsep-konsep itu di dalam suatu keseluruhan yang sling bertalian secara logis. Itu semua membentuk wilyah fleksibel di dalam ekonomi Islam.
Tetapi menurutnya, ijtihad itu pastilah mengandung arti ijtihad yang memenuhi syarat, yakni harus berada di dalam batasan-batasan yang tidak menimbulkan ketidaksepakatan. Sadr menerima opini dari berbagai mujtahidun yang merupakan bagian dari metodologi yang dipakainya. Karena seorang mujtahid hanyalah manusia yang tidak selalu benar dan mungkin saja membuat kesalahan di dalam keputusannya, Sadr tetap menyukai fleksibilitas dibanding dengan ketaatan dogmatik terhadap salah seorang mujtahid.

C. Distribusi Pendapatan / Kekayaan Dalam Islam
Distribusi pendapatan adalah suatu proses pembagian (sebagian hasil penjualan produk total) kepada faktor-faktor yang ikut menentukan pendapatan. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor tenaga kerja, tanah, modal, dan managemen. Besaran distribusi pendapatan ditentukan oleh tingkat peranan masing-masing faktor produksi
Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro dalam Islam karena pembahasan distribusi berkaitan bukan saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek politik.
Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi dimana ukuran berdasarkan atas jumlah kepemilikan, tetapi bagaimana bisa terdistribusi penggunaan potensi kemanusiaannya, yang berupa penghargaan hak hidup dalam kehidupan. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan kesamaan hak hidup.
Islam mengatur distribusi harta kekayaan termasuk pendapatan kepada semua masyarakat dan tidak menjadi komoditas diantara golongan orang yang kaya saja. Sehingga untuk mencapai pemerataan pendapatan kepada masyarakat secara obyektif.
Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infak dan sodaqoh guna menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial, serta adanya hukum waris dan wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi kosentrasi harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memeberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara benar.

D. Distribusi Menurut Muhammad Baqir As-Sadr
Sadr membagi distribusi menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum prodoksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Penjelasan Sadr mengenai hal ini didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan pemilikan dan distributive rights.

1. Pre-Production Distribution
Subab ini membahas distribusi tanah dan sumber daya alam lain yang di istilahkan dengan kekayaan primer. Dalam segi kepemilikan sumber daya alam, Sadr membaginya menjadi empat katagori, yakni: tanah, bahan mentah, sumber daya alam di dalam tanah dan air, serta sumber daya lain (produk laut, sungai, buah-buahan).
Beberapa hal dalam kepemilikan sumber daya alam:
a) Pemilikan oleh negara adalah jenis pemilikan yang paling sering, meskipun hak pakai dapat diperoleh dari negara.
b) Pemilikan swasta hanya di izinkan di dalam sejumlah kecil keadaan.
c) Pemilikan swasta hanyalah terbatas pada hak pakai, prioritas penggunaan dan hak untuk mencegah orang lain memakai barang yang sedang dimiliki oleh orang lain.
d) Untuk mineral dan air, individu diperkenankan untuk menggunakan apa yang mereka perlukan.
Ada dua hal yang dapat dikemukakan berkenaan dengan pandangan Sadr mengenai pemilikan dan hubunganya dengan distributive rights:
1) masalah relevansi
Katagori Sadr dalam masalah relevensi ini di dasarkan pada masa lampau masa-masa perluasan Islam.
2) ukuran tanah yang boleh dipakai:
a) Tanah-tanah swasta akan tetap menjadi tanah swasta selama ada tenaga kerja yang terlibat, yakni selama tanah itu digarap.
b) Hak pakai diberikan sesuai dengan keamanan dan kapasitas mengerjakan.

2. Post-Production Distribution
Sadr menyatakan bahwa islam tidak menganggap bahwa semua factor prodiksi (ataupun pemiliknya)itu sama sederajat yakni orang yang melakikan produksi adalah pemilik yang riil dari barang yang dihasilkan. Dan meletakkan manusia sebagai majikan bukan budak produksi. Ada beberapa bentuk distribusi kekayaan / pendapatan yang di atur oleh Islam, sebagai factor produksi, yaitu :

a. Sewa atas tanah
Sewa merupakan bentuk kerja sama yang saling membantu yang merupakan salah satu cara efektif agar tanah dapat diolah serta menguntungkan kedua belah pihak. Sewa tanah hanya diperbolehkan jika pemilik tanah telah menanamkan tenaganya sejak awal (misalnya menghidupkan tanah mati).
Sadr melarang mempraktekkan ungkapan 'memebeli murah dan menjual mahal' tanpa adanya kontribusi / kerja bagi suatu produk. Atau dengan kata lain misalnya mengambil sewa tanah dan kemudian menyewakannya kepada orang lain dengan harga yang lebih mahal.

b. Upah bagi pekerja
Menurut benham mendefinisakan upah dapat didefinisikandengan sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi pekerjakepada seorang pekerja atas jasanya sesuai dengan perjanjian.
Tenaga kerja diberi pilihan antara imbalan tetap (upah) dan imbalan variable (bagian laba). Upah adalah harta yang dibayarkan (imbalan) kepada seseorang atas jerih payahnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, yang harus diberikan secara adil dan secepatnya

c. Imbalan atas modal
Modal adalah sesuatu yang diharapkan dapat memberikan penghasilan kepada pemiliknya tanpa harus mengambil bunga darinya.
Sadr menolak ungkapan 'no risk, no gain' (tak ada resiko, tak ada hasil). Seperti argumen yang di ungkapkan oleh ahli ekonomi Muslim yang mengatakan pemilik modal dalam kontrak mudharabah bisa memperoleh imbalan (return) karena resiko yang ia tanggung. Menurutnya imbalan itu adalah karena adanya kenyataan bahwa mereka mempunyai uang yang sedang digunakan, bukan faktor resiko
d. Laba bagi perusahaan
Laba merupakan bagian keuntungan seorang penghusaha sebagai imbalan atas usahanya mengelola perusahaan dengan menggabungkan beberapa faktor produksi untuk mencapai hasil sebanyak-banyaknya, serta membagi keuntungan perusahaan kepada pemilik faktor produksi yang lebih dalam menyelenggarakan faktor produksi.

E. Nilai Dan Moral di Bidang Distribusi
Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardawi menjelaskan bahwa distribusi dalam ekonomi islam di bangun dalam dua sendi yaitu
1. Nilai kebebasan
a. Asas kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah SWT. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk, memiliki, mengelola, dan membelanjakan hartanya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Allah yang harus dipertanggungjawabkannya di Hari Kemudian.
b. Bukti-bukti kebebasan
1) Hak milik pribadi
Islam melindungi hak milik pribadi dari perbuatan dzalim seseorang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya. Kebebasan mengharuskan seseorang utuk menanggung resiko sesuai dengan apa yang dilakukan dengan memberikan hak orang lain yang terdapat di dalam hartanya.
2) Warisan dan wasiat
Dimana seseorang dapat melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan apa yang menjadi miliknya. Keduanya di akui oleh syar'i dengan maksud untuk memelihara kemaslahatan individu, keluarga, dan masyarakat.

2. Nilai keadilan
Jika dalam pendistribusian, pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari pemilik faktor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

F. Peran Negara Dalam Distribusi Pendapatan
Menurut An-Nabahani dikatakan tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga:
1) Mengawasi faktor utama penggerak ekonomi
2) Menghentikan mu'amalah yang diharamkan
3) Mematok harta kalau diperlukan
Ada beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan secara langsung dengan penciptaan nilai mata uang serta menentukan harga agar tidak terjadi inflasi. Penganut kapitalis menggunakan pungutan pajak sebagai sumber utama penerimaan Negara yang diguakan untuk penyelenggaraan pemerintahan serta membiayai pembangunan dan mengatur kegiatan ekonomi dalam rangka meujudkan keadilan dan pemerataan pendapatan.
Lain halnya dalam islam, islam menggunakan dana pungutan pajak tersebut hanya untuk hal ha yang dianggap penting saja dan harus didistribusikan kembali kepaad masyarakat dengan jalan yang benar dan jujur.Islam melarang pejabat pemerintah untuk menggunakan fasilitas Negara untuk diri dan keluarganya kecuali dalam hal tugas pemerintahan.
Pemerintah harus mengawasi gerak perokonomian seperti dalam aktifitas produksi dan distribusi barang, praktek yang tidak benar seperti penimbunan terhadap bahan pokok yang sangat diperlukan masyarakat, monopoli dan tindakan memainkan harga untuk menjaga kemaslahatan bersaama.
Negara bertugas menetapkan aturan untuk undang-undang berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek nyata serta mendirikan institusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau pelaksanaan kewajiban masyarakat dan menghukum orang yang melanggar dan melalaikan pekerjaannya. Demikian pula negara harus dapat meningkatkan aktivitas bisnis dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pihak tertetu dalam masyarakat..








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


Menurutnya ekonomi Islam adalah sebuah doktrin, semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai (keadilan sosial) Di dalam doktrin ekonominya, keadilan menempati posisi sentral. Keadilan merupakan penilaian moral dan tidak dapat diuji.
Distribusi pendapatan adalah suatu proses pembagian (sebagian hasil penjualan produk total) kepada faktor-faktor yang ikut menentukan pendapatan. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor tenaga kerja, tanah, modal, dan managemen. Besaran distribusi pendapatan ditentukan oleh tingkat peranan masing-masing faktor produksi
Sadr membagi distribusi menjadi dua bagian, yakni distribusi sebelum prodoksi (pre-production distribution) dan sesudah produksi (post-production distribution). Penjelasan Sadr mengenai hal ini didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan pemilikan dan distributive rights.
Peran Negara Dalam Distribusi Pendapatan Menurut An-Nabahani dikatakan tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga
1. Mengawasi faktor utama penggerak ekonomi
2. Menghentikan mu'amalah yang diharamkan
3. Mematok harta kalau diperlukan









DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Aslam Haneef. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. (penerjemah: Suherman Rosyidi.) Airlangga University Press. Surabaya. 2006
Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. BPFE. Yogyakarta. 2004.
Heri sudarsono. Konsep Ekonomi Islam. EKONOSIA fakultas UII. Yogyakarta. 2003
Yusuf Qardhawi, Peran nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Penerjemahan: Didin Hafiduddin et.al.). Robbani Press. Jakarta. 2001
http://antapaniboys.blogspot.com/2009/08/penentuan-pendapatan-faktor-produksi.html. akses 12 november 2009

makalah lembaga hisbah



















BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hisbah adalah sebuah kata yang saya yakin agak ganjil bagi Sebagian besar masyarakat Indonesia. Walaupun, mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Sebenarnya, hisbah adalah sebuah kata yang takasing terdengar di pelosok barat Indonesia, yaitu di Aceh dan diberbagai negara Islam lainnya.Dan begitulah memang maksud dari hisbah, sebuah perhitungan, ada unsur pengawasan dan ada punish dan reward di situ.
Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan di bawah kendali pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik,ketika masyarakat mulai untuk mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah,saat masyarakat mulai terbiasa dengan kesalahan itu.Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan,menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah.
Upaya Negara untuk mejamin kemaslahatan, keadilan, dan permainan jujur disemua lini kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah,.Tujuan dibalik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi dgn bebas sehingga harga, upah, dan laba dapat ditentukan oleh kekuasaan permintaan dan penawaran (yang terjadi jugg dinegara kapitalis ), melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya antara satu dengan yang lain dan mematuhi ketentuan syariat. Setiap tindakan kehati-hatian perlu diambil untuk menjamin bahwa tidak ada pemaksaan, penipuan, pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, atau pengabaiaan terhada pihak yang melakukan akad, dan tidak ada penimbunan dan perusakan pasokan dengan tujuan menaikkan harga.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Hisbah?
2. Apa Tujuan Dari Hisbah?
3. Bagimana Prosedur dan Dimensi dari Hisbah?
4. Bagaiman peran Hisbah dalam bidang Ekonomi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hisbah
Hisbah secara terminologi diambil dari kata HSB yang berarti menghitung (reckoning dan computing) berarti pula kalkulasi, berpikir (thinking), memberikan opini, pandangan dan lain-lain. Sedangkan menurut John L. Esposito, kata hisbah secara harfiah berarti jumlah, hitungan, atau upah, hadiah, pahala. Namun, secara teknis, ia mengandung arti institusi negara untuk mendukung kebaikan dan mencegah kemungkaran (al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar). Institusi hisbah didefinisikan oleh Abdul hadi sebagi sistem “ yang membuat seseorang bisa berlaku benar dalam prilaku mereka.” Dalam kata lain ia adalah institusi check and balances.
Pengertian Hisbah Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktifitas konseling agama yang dijumpai pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dan klien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab 'alaih
Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni mem¬bantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menumbuhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah SWT:
  •             

artinya : Hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104)
Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.
Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan munkar, dan dengan itu klien terdorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya. Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.
Mu’jam al Wasith menerangkan definisi hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan adab umum. Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada tiga poin penting mengenai institusi hisbah , yaitu:
1. Bahwa hisbah adalah sebuah lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh pemerintah.
2. Tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi mungkar
3. Tugas hisbah yang lebih spesifik adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi distorsi pasar.
Menurut Islahi yang mendasarkan pada kajian-kajian kitab klasik, terutama karya Ibnu Taimiyah, dan prakteknya pada perekonomian negara Islam pada masa lalu, menjelaskan fungsi umum al-hisbah, yaitu:
1. Sebuah sistem yang secara umum digambarkan pelaksanaan kebajikan dan kewajiban oleh muhtashib dan berkaitan dengan aspek agama dan yuridis dalam pengurusannya
2. Digambarkan sebagai praktek dan tehnik pengawasan secara detail. Pengawasan secara prinsip dilakukan atas berbagai bentuk produk kerajinan dan perdagangan, bahkan juga mencakup tata administrasi dan kualitas maupun standar produk

B. Tujuan Utama Hisbah.
Dari penjelasan di atas,sudah dapat diketahui dasar dari adanya hisbah.Jika bisa di pecah,maka tujuan utama hisbah adalah :
1. Menjaga agama Allah dengan memastikan bahwa agama Allah di jalankan oleh masyarakat,dan dengan menjaga agar tidak di selewengkan agama Allah tersebut.
2. Menyiapkan lingkungan sosial yang condong pada kebajikan dengan terus menerus mendukung standarisasi moral yang tinggi dan tidak mentoleransi tindakan amoral.
3. Menyiapkan manusia agar condong pada kebajikan yang berkaitan dengan kegiatannya dan berusaha untuk berguna bagi lingkungan sosialnya.
4. Membangun kesepakatan sosial agar tidak terjadi kejahatan pada prinsip.Maksudnya adalah ada kesepakatan social diantara masyarakat sehingga dengan di jalnkannya kesepakatan tersebut, diharapkan prinsip-prinsip yang Allah tetapkan dan berlaku dalam masyarakat tidak di langgar.
5. Mengembangkan, meramalkan, dan menyiapkan standar sosial yang tepat dengan masyarakat dan memastikan bahwa masyarakat mengerti tentang itu.Agar tidak ada kejahatan yang dianggap benar dan sebaliknya.
6. Menjaga agar azab Allah tidak turun ke masyarakat dan mencegah korupsi.Karena sesungguhnya azab Allah akan kena pada setiap insane baik ia beriman atau tidak ketika ada kezaliman yang terjadi,namun tidak berusaha di rubah.
7. Meningkatkan status untuk menjadi manusia terbaik dimata Allah.Dengan penerapan hisbah ini di harapkan, individu dalam masyarakat dapat menjadi individu yang baik di mata Allah dan mampu mencapai derajat taqwa.


C. Hisbah Dan Ekonomi
Seperti yang sudah banyak di jelaskan di atas,bahwa hisbah adalah sebuah institusi yang menjaga amar makruf dan menjauhi kemungkaran.Hisbah dalam cakupan yang luas,,mengatur segala jenis hal dalam kehidupan kemasyarakatan.Termasuk ekonomi di dalamnya. Ketika Hisbah berdiri tegak dengan perangkat-perangkatnya, maka Ekonomi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan syariatnya, perangkat-perangkat yang di butuhkan dalam Hisbah,khususnya yang mengatur dalam perekonomian
C.1.Prinsip
Prinsip dalam Hisbah sudah jelas, perdagangan harus sesuai dengan syariat. Hal-hal yang berbau kecurangan, korupsi, pemalsuan dan hal-hal lain yang mendzalimi masyarakat atau individu adalah hal yang dilarang dalam Islam dan ini menjadi pusat perhatian Hisbah dalam hal Ekonomi.
Dengan dasar dalam Q.S Al’araf:157 ‘(Yaitu)orang-orang yang mengikuti rasul,nabi yang ummi yang (namanya)mereka dapati tertulis dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar…”
Dan Q.S AnNahl :90 “Sesungguhnya Allah menyuruh(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,memberi kepada kaum kerabat ,dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…”
Subhanallah, betapa Allah telah memuliakan manusia dengan islam, sampai hal dalam perdagangan pun harus dilakukan dengan ahsan atau baik. Jadi jelas,bahwa dalam bedagang atau bisnis pun Hisbah mengawasi agar perdagangan berjalan dengan adil sehingga masyarakat bisa sejahtera.
C.2. Prosedur Dan Dimensi
Mengacu pada Imam Al Ghazali dalamkitab Ihya Ulumuddin Vol.VII, ada empat elemen penting:
1. Kualifikasi dari Muhtasib
Muhtasib adalah Hakim atau Qadi, yang harus mampu mengambil keputusan setiap tempat dan setiap waktu.Muhtasib haruslah orang yang paham terhadap Islam atau faqih.Dan paham terhadap masalah yang di hadapi.Muhtasib haruslah orang yang membela kepentingan umum.Sifat-sifat seorang pemimpin juga mutlak di miliki,karena ia harus bijak dalam melihat masalah dan mengambil keputusan
2. Kondisi dari Proses Hisbah.
Kondisi dari Hisbah terkadang berada dalam posisi syubhat.Harus hati-hati juga dalam membedakan mana yang halal,syubhat dan haram.
3. Tugas dari Muhtasib.
Jelas,tugas menjadi muhtasib adalah dalah tugas yang berat.Tugas dimana segala sesuatu harus dijalankan dengan komprehensif. Muhtasib haruslah orang yang paham dalam kehidupan sosial terutama perdagangan day to day..dari hari ke hari.
Bahkan DR.Mukhtar Holland,yang menterjemahkan dari Buku Imam Ibnu Taymiyya : Tugas Umum dalam Islam ( Institusi Hisbah )yang di publikasikan pada tahun1983 membagi tugas Muhtasib dalam dua bagian :
a. Mengatur Ekonomi secara Islami Sesuai dengan AlQur’an, hadist dan ijtihad,ijma para ulama.
b. Menegakkan Keadilan Sosial Keadilan bagi semua,bagi muslim maupun non muslim
4. Derajat Pengukuran Hisbah.
Ada Sepuluh tingkatan tindakan muhtasib menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali yang harus dilakukan dengan benar dan penuh kesungguhan,yaitu:
1. Mencari tahu tentang kemungkara tanpa harus memata-matai atau memaksa orang untuk memberi informasi
2. Menasihati orang yang berbuat kedzaliman tsb sebelum memberi hukuman
3. Melarang dan menasihati dengan kata-kata
4. Menggiatkan untuk takut yang sebenarnya pada Allah SWT
5. Mengingatkan dengan keras ketika kata-kata lembut sudah tidak mempan
6. Usahakan untuk membuat kemungkaran di jauhi secara fisik
7. Mewaspadai hal-hal yang mungkin akan buruk di masa yang bentar lagi datang, apalgi jika si pembuat kemungkaran belum sadar.
8. Menjatuhi Hukuman Fisik tanpa menggunakan senjata untuk menghindari kerusakan atau darah tertumpah
9. Menggunakan senjata yang cocok mengindikasikan ada tindakan serius yang akan di ambil
10. Untuk memaksa regulasi,bisa lewat bantuan polisi juga untuk menuntut si pelaku kemungkaran dalam sistem konvensional ketika Perangkat Perangkat sudah tegak dalam Penerapan Hisbah,maka Hisbah akan sangat berperan dalam hal ekonomi.
Hisbah mempunyai peran yang sangat penting dalam Ekonomi ,yaitu:
1. Standarisasi Mutu yang cukup tinggi Ketika ada Hisbah,maka masyarakat pedagang harus menyediakan barang terbaiknya!kenapa?karena hisbah juga mengatur tentang mutu barang yang ada di masyarakat.Ketika ada penipuan atau kecurangan mutu barang yang dilakukan oleh produsen dan mendzalimi konsumen,maka petugas hisbah siap bertindak.Kualitas Barang harus sesuai dengan harga yang di tetapkan produsen dan yang dijanjikan oleh produsen kepada konsumen.Produsen pun tidak bisa menjiplak karya produsen lain,karena dengan adanya peniruan dalam karya produksi akan menyebabkan kerugian baik bagi produsen yang punya hak cipta atau bagi masyarakat pengguna.Dan jelas,penjiplakan yang mendzolimi dilarang dalam Islam.
2. Regulasi perdagangan lebih teratur. Karena Hisbah mempunyai pengawas yang siap mengawasi setiap kezaliman dalam perdagangan,maka masyarakat akan cenderung hati-hati dalam berdagang.Apalagi ada dasar AlQur’an dan ketakutan yang tinggi pada Allah menjadikan masyarakat lebih jujur dalam berdagang,lebih jujur dalam menyediakan supply barang, tidak ada lagi penimbunan barang yang membuat peningkatan harga di masyarakat.Sehingga kurva permintaan dan penawaran akan selalu berada dalam kondisi Equilibrium.Regulasi di tingkat birokrat juga akan lebih mudah dan menguntungkan ketika ada Hisbah.Karena Hisbah ada di bawah pemerintah,dan ketika ada orang pemerintahan yang berani main api maka hukumannya akan lebih berat..
3. Terhindarnya ekonomi biaya tinggi Dengan regulasi yang teratur ,akan menyebabkan biaya yang tercipta rendah!karena tidak ada uang pungutan liar sana-sini yang biasa di pungut oleh pihak birokrat ataupun orang-orang yang ingin mengambil keuntungan di tas penderitaan orang lain.
4. Harga yang terbentuk di masyarakat tidak akan mendzalimi Masyarakat. Dalam Islam,tidak masalah jika kita masuk dalam pasar monopoli,namun yang paling harus di catat adalah..masuknya kita tidak membuat kita semena-mena terhadap permintaan masyarakat sehingga dengan seenaknya kita bisa menaikkan harga.Dengan adanya Hisbah akan ada pelindung masyarakat dari harga yang mencekik yang umumnya di lakukan oleh perusahaan yang bermain secara monopoli.Atau sebaliknya,muhtasib juga bisa mencegah seseorang atau perusahaan yang masuk ke pasar dengan harga yang sangat rendah sehingga merugikan pemain lain yang ada dalam pasar tersebut.Bahkan dengan adanya biaya relative rendah dalam produksi harus menyebabkan produsen memberikan harga yang wajar.
5. Kesejahteraan Masyarakat akan lebih merata Ketika barang yang di butuhkan masyarakat hadir secara cukup dengan harga yang layak,akan membuat masyarakat jauh dari kemiskinan dan dekat dengan kesejahteraan.Pendapatan dan kepemilikan barang akan cenderung merata atau distribusi merata.Sehingga gap atau kecemburuan sosial dapat di cegah dan sangat sedikit presentasenya,bahkan nol.
6. Perdagangan di Dunia Internasional lebih menguntungkan Karena kita memiliki barang yang baik dan berkualitas,cara yang baik atau ahsan dalam berdagang, maka kita akan lebih mudah dalam mendapatkan keuntungan di dunia Internasional.Karena memang fitrah manusia menyukai jika di berikan yang terbaik.
7. Kecerdasan masyarakat dalam Ekonomi Yang berperan di Hisbah tidak hanya petugas hisbah saja, namun juga masyarakat umum. Karena pengaduan akan kedzoliman bisa saja di lakukan oleh masyarakat umum.Secara tidak langsung,masyarakat di buat untuk lebih punya pemahaman dalam hal ekonomi dan bisnis,agar tidak mudah untuk di dzolimi dan agar bisa membantu anggota masyarakat lain yang sedang terdzolimi.
8. Pemain yang berada di Perdagangan adalah yang terbaik Ketika hal nomor 1-7 diatas berlangsung dengan baik,maka akan sangatt jelas terlihat oleh masyarakat siapa yang jujur dalam berdagang dan siapa yang curang.Karena dalam hisbah sendiri,prinsip akuntabilitas dan keterbukaan berjalan dengan baik -seharusnya.Bagi yang curang,maka akan ada hukuman baik dari pihak hisbah maupun hukuman moral dalam masyarakat.Sehingga akhirnya,hanya yang terbaiklah yang bisa bertahan dalam pasar.

D. Hisbah Di Indonesia
Al hisbah didirikan sebagi kontrol dari pemerintah melalui kegiatan perorangan yang khususnya memiliki garapan bidang moral, agama dan ekonomi dan secara umum berkaitan dengan kehidupan kolektif atau publik Islam. Di masa kini, tidak ada lembaga tunggal yang bisa dikomparasikan dengan hisbah.
Di Indonesia pekerjaan dari hisbah itu kini dilakukan oleh berbagai menteri dan departemen yang berbeda. Selain itu, dalam perbankan syariah, para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syaria
Sedangkan untuk mengatasi praktik-praktik korupsi dan memperbaiki citra Indonesia sebagai negara yang korup, maka pemerintah membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), untuk membantu tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sudah ada, sehingga diharapkan dengan adanya pengawasan yang ketat itu maka tingkat korupsi di Indonesia dapat ditekan, sehingga dapat mempercepat proses perbaikan ekonomi di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi, orang-orang yang duduk dilembaga-lembaga pengawas malah ada (kalau tidak boleh dikatakan banyak) menjadi aktor yang merugikan negara.
Negara tidak perlu ragu – ragu untuk melakukan interensi mana kal perbatasan keadilan dan kejujuran telah dilanggar dan tidak ada justifikasi untuk menunggu sampai kekuatan- kekuatan pasar mampu mengoreksi sendiri ketimpangan yang ada


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Hisbah menurut pengertian syara' artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma'ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan.
Mu’jam al Wasith menerangkan definisi hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan adab umum. Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada tiga poin penting mengenai institusi hisbah yaitu:
1. Bahwa hisbah adalah sebuah lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh pemerintah.
2. Tugas utamanya adalah melakukan amar makruf nahi mungkar
Tugas hisbah yang lebih spesifik adalah mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga mekanisme pasar berjalan normal dan tidak terdistorsi, dan melakukan tindakan korektif ketika terjadi distorsi pasar
Prinsip dalam Hisbah sudah jelas, perdagangan harus sesuai dengan syariat. Hal-hal yang berbau kecurangan, korupsi, pemalsuan dan hal-hal lain yang mendzalimi masyarakat atau individu adalah hal yang dilarang dalam Islam dan ini menjadi pusat perhatian Hisbah dalam hal Ekonomi
Di Indonesia pekerjaan dari hisbah itu kini dilakukan oleh berbagai menteri dan departemen yang berbeda. Selain itu, dalam perbankan syariah, para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar, yaitu sebagai Dewan Pengawas Syaria
Negara tidak perlu ragu – ragu untuk melakukan interensi mana kal perbatasan keadilan dan kejujuran telah dilanggar dan tidak ada justifikasi untuk menunggu sampai kekuatan- kekuatan pasar mampu mengoreksi sendiri ketimpangan yang ada





DAFTAR PUSTAKA

M. Umer chapra. Masa depan ilmu ekonomi, Jakarta: gema insani, 2001
Mustaq Ahmad, Business Ethics In Islam, terj. Indonesia: Etika Bisnis Dalam Islam oleh Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2003
http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=185&Itemid=27, akses 7 oktober 2009
http://dyahlam.blogspot.com/2008/12/urgensi-lembaga-hisbah.html. akses 7 oktober 2009.
http://mubarok-institute.blogspot.com/2008/10/konseling-agama-dalam-tradisi islam.html akses 7 oktober 2009