Cari Blog Ini

Jumat, 29 Januari 2010

Makalah ushul fiqh perbandingan dalalah khas tahshis dan 'am dalam perspektif empat madzhab





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. bagaimanakah pengertian lafadz 'Aam dan bagimana dilalah lafadz nya?
2. bagaimana bentuk ( shigat ) lafadaz 'aam?
3. bagaimanakah pengertian lafadz Khas dan dilalahnya?
4. bagaimanakah pengertian Takhsis?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafadh ‘Am
1. Pengertian Lafadh ‘am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah),
“Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali),
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi) .
menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih"
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:
لا يقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضاء
“Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”.
Hadits ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat mu’akadah saja.
2. Bentuk-Bentuk Lafadz ‘Am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:
a. Lafadz كل (setiap) dan جميع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah;
   
"Tiap-tiap yang berjiwa akan mati". (Ali 'Imran, 185)
    •   
"Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami'an)". (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل dan جميع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
          • 
"Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya". (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma'rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
 •     
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al_baqarah: 275).
Lafadz al-bai' (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma'rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma' al-Mawshul. Seperti ma, al-ladhina, al-lazi dan sebagainya.
Salah satu contoh adalah firman Allah:
•             
"Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma' al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
   •            
"dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah".(An-Nisa':92)
f. Isim Nakirah dalam susunan kalimat nafi' (negatif),
seperti kata ولا جناح dalam ayat berikut:
          
"dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya". (Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah Lafadz ‘am
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: "Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan mereka didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi
العمل بالعام قبل البحث عن المحتص لا يجوز
" mengerjakan sesuatu berdasarkan dalil/alfadh aam sebelum diteliti ada tidaknya pentakhsisnya tidak deperbolehkan"
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama', Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath'iy dalalahnya , selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
        
"dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya". (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
المسلم يذبح علي اسم الله سميّ أو لم يسم
"Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak." (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath'iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya. Ulama Syafi'iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadist dzanny pula wurudnya dari nabi Muhammad SAW
4. Macam-macam lafadz ‘am
a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
                
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
                   
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contohnya:


Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.

B. Lafadh Khash
1. Pengertian Lafadh Khas
Pegertiannya adalah “suatu lafadh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” (Al-Bazdawi). Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu.
Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri.
Lafas Khas kadang-kadang berbentuk mutlaq (tanpa dibatasi oleh suatu syarat qayyid apapun), muqayyad (dibatasi oleh qayyid), amr (berbentuk perintah), dan nahy (berbentuk larangan) .
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.Menurut istilah, definisi khas adalah:"Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad . Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu".
Contoh, dalam Al-qur’an “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”. Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam sholat itu sebagai mana lafaz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Ruku’ yang diperintahkan itu merupakan fardhu sholat tanpa tuma’minah, sebaliknya ada hadis yang memerintahkan tuma’minah,
“Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat.” Menurut mereka bila tuma’minah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafazh kkas Al-Qur’an yang jelas. Sehingga tuma’minah tidak fardu
Sementara menurut Golongan Syafi’i, tuma’minah yang disyaratkan oleh hadis ini merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.
2. Dalalah Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
       
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
Lafadh tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath'iy dan dalalah hukumnya pun qath'iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain . Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
في كل أربعين شاة شاة
"pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing".
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath'iy.
Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

C. Takhshish
1. Pengertian Takhshish
Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadh Aam dan lafadh aam itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. (yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadh/dalil aam) sesudah di takhsis
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadh khas, tidak bisa terlepas dari takhshish. Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti
واحل لكم وراء ذلكم
“Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)”
ditakhsis dengan hadits
“Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.
Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep masakh mansukh.

2. Macam-Macam Takhshish
a. Mentakhshish ayat Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an. Misalnya:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
        
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4)
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya
Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:
                       
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49).
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

b. Mentakhshish Al-Qur'an dengan As-Sunnah.
Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:
    
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لا تقطع يد السارق الا في ربع دينار فصاعدا
"Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar". (H.R. Al-Jama'ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

c. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi:
لا يقبل الله صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضاء
"Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu". (Muttafaq 'Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6:
                     
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah.
Misalnya hadits Nabi SAW:
فيما سقت السماء العشر
"Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh". (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة"
Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)'. (Muttafaq Alayh).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
e. Mentakhsish Al-Qur'an dengan Ijma'.
Contohnya
               

apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum'ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum'at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma') bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum'at.
f. Mentakhshish Al-Qur'an dengan qiyas. Misalnya:
• •  •    
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur:2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa' ayat 25:
              
Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa':25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:
من بدل دينه فاقتلوه
"Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia". (Muttafaq Alayh).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja .
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.







BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Pegertiannya adalah “suatu lafadh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”. Atau pengertian yang lain adalah “Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” Al-Bazdawi.
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain
Macam-Macam Takhshish
a. Mentakhshish ayat Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an
b. Mentakhshish Al-Qur'an dengan As-Sunnah
d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah
e. Mentakhsish Al-Qur'an dengan Ijma'
f. Mentakhshish Al-Qur'an dengan qiyas
g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat



DAFTAR PUSTAKA

- H.A. Djazuli, Nurolaen, 2000, Ushul Fiqh Metodologi Hokum Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- H. A. Syafi'i Karim, 1997, fiqih ushul fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
- Mu'in, H. Asymuni Dkk. . 1986 Ushul fiqh qidah-qidah istinbath dan ijtihad. Dirjend pembinaan kelembagaan agama islam Depag.
- H. Amir syarifuddin,1999, ushul fiqh jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
- Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram, Al-Hidayah. Surabaya
- http://masguru.weblog.com/2008/11/LAFADZ-AM-DAN-LAFADZ-KHAS.html. akses 02 januari 2009
- http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ushul-fiqih/Options

Tidak ada komentar:

Posting Komentar