Cari Blog Ini

Jumat, 29 Januari 2010

makalah lembaga pengelolaan zakat



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kondisi nasional pendiri lembaga pengelolaan zakat sebenarnya adalah untuk memenuhi kemaslahatan, dimana semua komponen bangsa dituntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Demikian pula dengan umat Islam merupakan salah satu komponen bangsa yang wajib ikut serta dalam mengisi dan melanjutkan usaha-usaha pembangunan itu. Bahkan umat Islam merupakan komponen dominan dan potensial dalam mengisi pembangunan tersebut. Islam secara menyeluruh memerintahkan umatnya untuk membangun umat dan bangsanya. Perintah islam itu dibarengi pula dengan tuntunan oprasional mengenai bagaimana pembangunan itu dilakukan.
Salah satu kendala yang banyak dihadapi oleh umat islam dalam pembangunan tersebut ialah keterbatasan biaya. Persoalan inilah merupakan persoalan yang sangat sulit dipecahkan. Biaya yang paling dominan dalam pembangunan bukanlah dana yang besar dari bantuan pihak lain, melainkan dana yang digali dari potensi sendiri berupa pemberdayaan potensi ekonami umat atau bangsa.
Masalah yang mungkin akan muncul ialah tentang kepastian hukum bagi para wajib zakat yang tidak menunaikan kewajibannya. Sehingga perlu dibuat kompilasi hukum Islam tentang zakat. Dari masalah itu muncullah Badan Amil Zakat (BAZ) untuk manangani masalah-masalah zakat dan bagai mana cara pengolaan dan penyaluran yang salah satunya menjadi sumber dana umat.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Lembaga Pengelolaan Zakat itu ?
2. Bagaimana persyaratan dari Lembaga Pengelolaan Zakat ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip Lembaga Pengelolaan Zakat ?
4. Bagaimana tugas dan fungsi Lembaga Pengelolaan Zakat ?
5. Bagaimana alur pengumpulan dan penyaluran zakat dalam Lembaga Pengelolaan Zakat ?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian
Lembaga Pengelolaan Zakat adalah kata lain dari Badan Amil Zakat (BAZ), intuisi sebelumnya bisa disebut dengan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqoh). Sedangkan pengertian BAZIZ secara istilah antara lain ditemukan dalam surat keputusan bersama (SKB) Mentri Dalam Negri dan Mentri Agama Nomor 29 Tahun 1991 / 57 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, infaq dan shadaqoh. Dalam pasal 1 SKB tersebut disebutkan bahwasanya yang disebut BAZIZ adalah “Lembaga swadaya masyarakat yang mengelola penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat, infaq, shodaqoh secara berdaya guna berhasil guna.”
Secara subtansi, Pengertian tersebut dapat ditemukan pula dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, kemudian dipertegas lagi dalam keputusan Mentri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan UU 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dalam pasal 1 ayat 1 keputusan Mentri disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Amil Zakat (BAZ) adalah: organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendaya gunakan zakat sesuai dengan ketentuan Agama.
Dari kedua pengertian diatas SKB Mentri Dalam Negri dan Mentri Agama serta UU Nomor 38 Tahun 1999, tampak ada perbedaan. Menurut SKB, BAZUS itu adalah Lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat, sedangkan menurut UU Nomor 38 Tahun 1999, BAZIS itu dibentuk oleh pemerintah. Untuk menangani perbedaan persepsi itu, maka dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2 selain Badan Amil Zakat dilengkapi pula dengan Lembaga Amil Zakat yang sama pengertiannya dengan BAZIS yang dikemukakan SKB. Dengan demikian, dalam struktur organisasi pengelolaan zakat menurut UU Nomor 38 Tahun 1999 dibedakan antara Badan Amil Zakat dengan Lembaga Amil Zakat. Kalau BAZ dibentuk oleh pemerintah sedangkan LAZ dibentuk atas prakasa masyarakat.
Namun demikian, kedua pengelola zakat itu memiliki tugas dan fungsi yang sama yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan harta zakat yang dikumpulkan oleh umat Islam. Zakat sendiri mempunyai pengertian yaitu shadaqoh wajib yang berupa jumlah tertentu dari harta seseorang yang beragama Islam yang telah mencapai nisab atau haul, trus diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Zakat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Zakat fitrah.
Zakat yang wajib dikeluarkan pada setiap akhir bulan Ramadhan oleh setiap muslim dan keluarga yang ditanggungnya yang memiliki kelebihan makanan untuk sehari pada hari raya Idul Fitri.
b. Zakat mal (harta).
Zakat atas harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai nisab atau haul.

2. Persyaratan Lembaga Pengelolaan Zakat.
Yusuf al Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum mislim yang termasuk rukun Islam (rukun Islam ketiga), karena itu sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesame muslim.
2. Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
3. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Serta keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparasi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggung jawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariat Islamiyyah.
4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.dengan pengetahuan tentang zakat yang relative memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya pada masalah zakat tersebut.
5. Memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Amana dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melakukan tugas. Perpaduan antara amanah dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan kinerja yang optimal.
6. Hemat penulis, adalah kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak tidak pula sambilan (tidak cekatan / hanya menunggu bola).

3. Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelolaan Zakat.
Dalam pengelolaan baik zakat, infaq dan shadaqoh terdapat beberapa prinsip yang harus diikuti dan ditaati agar pengelola dapat berhasil guna sesuai dengan yang diharapkan, prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip keterbukaan, suka rela, keterpaduan, profisionalisme, dan kemandirian.
Prinsip keterbukaan artinya dalam pengelolaan hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dipercaya oleh umat.
Prinsip kedua yaitu sukarela berarti bahwa dalam pemungutan dan pengumpulan hendaknya senantiasa berdasarkan prinsip suka rela dari umat Islam yang menyerahkan dan tidak boleh ada unsur pemaksaan atau cara-cara yang dapat dianggap sebagai suatu pemaksaan. Dan harus lebih diarahkan kepada motivasi yang bertujuan memberikan kesadaran kepada umat islam agar membayar kewajibannya.
Prinsip ketiga yaitu keterpaduan artinya sebagai organisasi yang berasal dari swadaya masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsinya meski dilaksanakan secara terpadu diantara komponen-komponennya.
Prinsip keempat yaitu profesionalisme bahwa dalam pengelolaan harus dilakukan oleh mereka yang ahli dibidangnya, baik dalam administrasi, keuangan dan lain sebagainya dan juga dituntut memiliki kesungguhan dan rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan akan lebih sempurna apabila dibarengi dengan sifat amanah.
Prinsip terakhir adalah kemandirian, sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip profesionalisme, yang diharapkan mampu menjadi lembaga swadaya masyarakat yang mandiri dan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa perlu menunggu bantuan dari pihak lain.

4. Tugas dan Fungsi Lembaga pengelolaan Zakat
Sebagaimana termuat dalam pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999 tugas pokok lembaga pengelola Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana termuat dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 29 Tahun 1991 / 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola, penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan shadaqoh dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.
Petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh institus Managemen Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi lembaga pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut:
1. Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.
2. Dewan Pertimbangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekreteris dan anggota.
3. Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota.
4. Badan pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan pendayagunaan.
5. Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur pemerintah terdiri atas unsur ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait.

Fungsi dan tugas pokok pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) antara lain:
a. Dewan Pertimbangan
1). Fungsi
Memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi kepada badan pelaksana dan komisi pengawas dalam pengelolaan Badan amil Zakat, meliputi aspek syari’ah dan aspek manajerial.
2). Tugas Pokok
(1). Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat.
(2). Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
(3). Mengeluarkan fatwa syari’ah baik diminta atupun tidak berkaitan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat.
(4). Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak diminta.
(5). Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
(6). Menunjuk akuntan publik.

b. Komisi Pengawas
1). Fungsi
Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana.
2). Tugas Pokok
1). Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan.
2). Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan.
3). Mengawasi oprasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendaya gunaan.
4). Melakukan pemeriksaan oprasional dan pemeriksaan syari’ah.

c. Badan Pelaksana
1). Fungsi
Sebagai pelaksana pengelolaan zakat.
2). Tugas Pokok
1). Membuat rencana kerja.
2). Melaksanakan oprasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
3). Menyusun laporan tahunan.
4). Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah.
5). Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat ke dalam maupun ke luar.

Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelolaan zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secar terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum’at, media ta’lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, aman dan tepercaya.



5. Bagaimana alur pengumpulan dan penyaluran zakat dalam Lembaga Pengelolaan Zakat.
Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat, harus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para mustahik sebagaimana tersurat dalam surah at-Taubah: 60 yang uraiannya antara lain sebagai berikut :
Pertama fakir dan miskin. Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknik oprasional sering dipersamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-harinya dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya.
Kedua kelompok amil. Kelompok ini berhak mendapatkan bagian dari zakat, maksimal satu perdelapan atau 12,5 %, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika hanya di akhir bulan ramadhan saja (biasanya hanya pengumpulan zakat fitrah saja), maka seyogyanya para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat satu perdelapan, melainkan hanyalah sekadarnya saja untuk keperluan administrasi ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya 5% saja termasuk biaya transportasi.
Ketiga kelompok muallaf, yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Mereka diberi agar bertambah kesungguhannya dalam ber-Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan sebab masuk Islam tidak sia-sia. Bahwa Islam dan umatnya sangat memperhatikan mereka, bahkan memasukkanya kedalam bagian penting dari salah satu Rukun Islam yaitu Rukun Islam ketiga.
Keempat dalam memerdekakan budak belian. Artinya bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan. Para ulama berpendapat bahwa cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua hal, yaitu:
1. Menolong pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya.hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah an-Nuur 33
               •    
“…..Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu….”

2. Seseorang atau sekelompok orang dengan uang zakatnya atau petugas zakat dengan uang zakat yang telah terkumpul dari para muzakki, membeli budak atau ammah (budak perempuan) untuk kemudian membebaskannya. Masalah riqab (budak) ini sesungguhnya terkait dengan masalah lainnya di luar zakat,
Kelima kelompok gharimin, atau kelompok yang berhutang, yang sama sekali tidak melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu kelompok yang mempunyai utang untuk kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya. Misalnya untuk membiayai diri dan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai pendidikan. Kelompok yang kedua yaitu kelompok yang mempunyai utuang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain. Misalnya orang yang terpaksa berutang karena sedang mendamaikan dua pihak atau dua orang yang sedang bertentangan, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Atau orang yang dan kelompok orang yang memilki usaha kemanusiaan yang mulia, yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya. Misalnya yayasan social yang melibatkan anak yatim, orang-orang lanjut usia, orang-orang fakir, panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok pesantren, dll
Keenam dalam jalan Allah SWT (fi Sabilillah). Pada zaman Rasulullah saw golongan yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji yang tetap. Tetapi berdasarkan lafaz sabilillah di jalan Allah SWT, sebagian ulama membolehkan memberi zakat tersebut untuk membangun masjid, lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’I, menerbitkan buku, majalah, brosur, dll
Ketujuh ibnu sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk saat sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama, seperti silaturahmi, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus pendidikannya karena ketiadaan dana.
Untuk umat muslim semua yang merasa berlebihan harta secepatnya dikeluarkan zakatnya, karena itu adalah hak delapan asnaf. Disisi social zakat bias mempererat tali persaudaraan karena kita semua adalah sama yang membedakan nya hanya ketaqwaan kepada Allah SWT, Istilah Tulungagung Guyub Rukun. Seperti halnya dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam surah at-Taubah 71,
              •         •    
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”






BAB II
KESIMPULAN
1. Badan Amil Zakat dan Lembaga Pengelola Zakat menurut undang-undang 38 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 ialah : organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah, dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. BAZ didirikan oleh pemerintah sedangkan LAZ didirikan atas prakasa masyarakat.
2. Seorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan yaitu :
a. Beragama islam.
b. Mukallaf.
c. Memiliki sifat amanah atau jujur.
d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat.
e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas.
f. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya.
3. Prinsip-prinsip lembaga pengelola zakat yaitu keterbukaan, sukarela, keterpaduan, profesionalisme dan kemandirian.
4. Pasal 8 UU Nomor 38 Tahun 1999 tugas pokok lembaga pengelola Zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Sedangkan fungsinya sebagaimana termuat dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 29 Tahun 1991 / 47 Tahun 1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh. Pasal 6 bahwa fungsi utamanya telah sebagai wadah pengelola, penerima, pengumpulan, penyaluran dan pendayaguna zakat, infaq dan shadaqoh dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai wujud partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional serta sebagai pembinaan dan pengembangan swadaya masyarakat.
5. Zakat bersumber dari muzakki, dan diltampung lewat lembaga pengelolaan zakat trus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Serta sasaran yang berhak menerima zakat yaitu orang-orang faqir, orang-orang miskin, amil zakat, muallaf, untuk memerdekakan budak, kelompok gharim, fi sabilillah, ibnu sabil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hafidhuddin, DR. K.H Didin. M. SE. Zakat Dalam Perekonomian Modern. 2002. Jakarta : Gema Insani.
2. Dzajuli, Prof. H. Ahmd. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. 2002. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
3. Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, Beirut : Muassasah Risalah, 1991.
4. Suyitno. Junaidi, Heri. Abdushomat, M. Abid, GJA. Anotomi Fiqh Zakat. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .
5. Ash-Shiddieqy, Muhammad, Hasbi, Tengku. Pedoman Zakat. 1991. Jakarta : Bulan Bintang.

3 komentar: