BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sufisme atau tasawuf
mengandungi nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina dan
membangun psikologi dan peribadi Islam melalui takhalliyyah al-nafs, tahalliyyah
al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam
mencapai kejernihan, kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia boleh menghasilkan
keperibadian Islam dan kesihatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat
perjalanan dalam tasawuf adalah seperti tawbah, zuhd, sabr,
tawakkal, rida, mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa,
ikhlas, shukr dan ma`rifah.
Ikhlas
merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi
wa Salam. suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas
dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak
berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar.
Sebagaimana dalam hadits,
bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang
yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani.
Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta
mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim.
Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia
berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang
yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam
Neraka
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Ikhlas?
2. Bagaimana bentuk keihlasan dalam perbuatan?
3. Bagimana cirri-ciri dari orang yang Ikhlas dalam
perbuatanya?
4. Apa saja hal-hal yang merusak sifat Ikhlas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhlas
(Ketulusan)
Ikhlas artinya
membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai maksud
dan niat lain. Atau mengesakan hanya Allah-lah sebagai tujuan dalam berbuat
kebajikan, yaitu dengan menjauhi dan mengabaikan pandangan mahluk serta tujuan
keduniaan dan senantiasa berkonsentrasi kepada Allah semata
Ikhlas merupakan
hal yang sangat prinsip dalam ibadat. Ikhlas adalah tindakan dan
perbuatan murni yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Secara
etimologi, ikhlas sering diertikan dengan kemurnian yang tidak dicampuri
hal yang menjadi tujuan. Dalam ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang
diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun
tindakan.
Sayid Muhammad Ibnu Alwy Ibnu Abbas Al-Maliki Al-Makky Al-Hasani dalam
kitabnya “Qul Hadzihi Sabili,” memasukkan ikhlas sebagai Al-Manjiyyat yaitu
sesuatu yang dapat memberi keselamatan kepada siapa saja yang mengamalkannya.
Ikhlas menurutnya identik dengan Iman, sambil mengutip QS. 17: 19 yang artinya,
“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat dan berusaha ke arah
itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” Ayat ini juga memberikan
pemahaman bahwa motivasi orang yang beriman (baca: ikhlas) adalah kehidupan
Akhirat serta bersungguh-sungguh untuk meraihnya
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah dalam
menjalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan walau amal sekecil apapun.”
Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab: ”Ialah
ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal
kecuali disertai keikhlasan kepada-Nya serta mengharap keridlaan-Nya semata.”
HR. An-Nasai
Seorang sufi membersihkan
amal perbuatannya daripada ‘ujub, riya’, hubb al-dunya, hasad,
takabbur dan sebagainya dengan mengerjakan amal soleh semata-mata kerana
Allah maka dia disebut sebagai seorang mukhlis (beramal dengan penuh
keikhlasan) dan perbuatannya itu adalah ikhlas[1].
Jadi ikhlas merupakan sesuatu hal yang
bersifat batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan soleh. Ia merupakan
perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah
bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu
adalah rahsia yaitu keikhlasan. Allah berfirman yang bermaksud: “Kepada
Engkau saja, kami menyembah dan kepada Engkau saja kami memohon
pertolongan.”
B.Bentuk keikhlasan
dalam Perbuatan/Amalan
Keikhlasan, apabila ditinjau dalam bentuk
realiti amalan, maka ia dapat dibahagi kepada tiga peringkat, yaitu:
1)
tidak melihat amalan sebagai amalan semata-mata
yaitu tidak mencari balasan daripada amalan dan tidak puas terhadap amalan; malu
terhadap amalan di samping sentiasa berusaha sekuat tenaga
2)
menjaga amalan dengan sentiasa dan tetap
menjaga kesaksian serta memelihara cahaya taufiq yang dipancarkan oleh Allah
SWT;
3)
memurnikan amalan dengan melakukan amalan
berasaskan ilmu serta tunduk kepada kehendak Allah
Keikhlasan bukanlah hal
yang statik yang sekali wujud akan sentiasa bertahan selamanya di dalam diri
manusia. Ia adalah suatu yang dinamis yang sentiasa menuntut kesungguhan
pemeliharaan dan peningkatan.[2]
Keikhlasan menjadi langkah bagi manusia untuk menumbuh kembangkan potensi sedia
ada yang akan memberi kesan kepada amalan dan teruji dalam kualiti maupun kuantiti.
C. Ciri-Ciri orang yang
Ikhlas ( Mukhlisin)
Suatu hari Mu’adz Bin
Jabal RA meminta nasehat kepada Rasulullah SAW sewaktu dia akan diutus ke
Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah SAW, berilah aku nasehat,” Rasul
bersabda; “Ikhlaslah dalam agamamu, meskipun kerjamu sedikit.” HR.
Al-Hakim
Nasehat Rasulullah SAW kepada Mu’adz ini mengandung pelajaran yang
berharga , antara lain mengungkap tiga sifat dan sikap para Mukhlishin yaitu[3]:
1.
Selalu berbuat baik walaupun manusia
membenci kebaikan yang dia perbuat. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
”Maka sembahlah Allah dengan seikhlas-ikhlasnya beribadah kepada-Nya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” QS. 40: 14
2.
Mendasari setiap amal shalihnya dengan
taqwa dan iman kepada Allah SWT.
3.
Sikapnya berbuat baik tidak ingin dilihat atau
dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS pernah
mengatakan: ”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebajikannya
sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia
melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun
banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa
mencampuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan
(harta, tahta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena
manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak
akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah
terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq,
na’udzubillahi min dzalik.
D. Hal-hal yang Merusak Keikhlasan
1.
Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk
ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
2.
Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk
didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
3.
'Ujub, masih termasuk kategori riya'
hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan
bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah dengaN makhluk, sedang
ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri Disamping itu ada
bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut
dengan riya' khafiy'[4].
Imam Al-Ghazali juga mengemukakan tentang pertarungan antara ikhlas dan
riya ini dan membaginya menjadi tiga jenis dorongan dan akibatnya, yaitu;
- Jika pendorong amalnya (ikhlas) sama kuat dengan dorongan nafsunya, maka kedua-duanya harus digugurkan dan jadilah amalnya tidak berpahala dan juga tidak berdosa.
- Jika dorongan riya lebih kuat dan menang, jadilah amalannya tidak bermanfaat, malah mengakibatkan adzab baginya. Siksaan dalam kondisi seperti ini lebih ringan dibanding amal yang semata-mata riya.
- Jika niat bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah lebih kuat dibanding dengan yang lainnya, maka ia mendapat pahala dari kekuatannya memelihara keikhlasan tadi.
E. Cara Memelihara Keikhlasan
Sebagai upaya membina terwujudnya keikhlasan yang mantap dalam hati
setiap mu’min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat
memelihara ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita, di
antaranya: [5]
- Dengan meyakini bahwa setiap amal yang kita perbuat, baik lahir maupun batin, sekecil apapun, selalu dilihat dan didengar Allah SWT dan kelak Dia memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan hati tanpa ada yang terlewatkan. Kemudian kita menerima balasan atas perbuatan-perbuatan tadi.
Dan yang sering tidak kita sadari adalah penyimpangan
niat dari ikhlas lillahi Ta’ala menjadi riya. Dalam hadis Qudsi dikemukakan:
”Kelak pada Hari Kiamat akan didatangkan beberapa buku catatan amal yang telah
disegel. Lalu dihadapkan kepada Allah SWT tetapi kemudian Dia berfirman:
”Buanglah semua buku-buku ini !” Malaikatpun berkata: ”Demi kekuasaan-Mu, kami
tidak melihat didalamnya selain kebaikannya saja.” Lalu Allah berfirman;
“Sesungguhnya amalan yang memenuhinya dilakukan bukan karena Aku, dan Aku tidak
menerima kecuali apa yang dilakukan karena mencari keridlaan-Ku.” HQR.
Al-Bazzar & at-Tabrani
- Memahami makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam beribadah hanya kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah yakin perbuatan kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat kita menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada keimanan dan ketaqwaan serta segeralah mensucikan diri dengan bertaubat dan meluruskan kembali niat baik tadi. Firman Allah: “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki amal mereka serta berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah, maka mereka itu adalah bersama orang yang beriman dan kelak Allah memberikan kepada orang yang beriman pahala yang besar.” QS 4; 146
- Berusaha membersihkan hati dari sifat yang mengotorinya seperti riya, sum’ah, nifaq atau bentuk syirik lainnya sekecil apapun. Allah berfirman: ”Barang siapa yang berharap menemui Rabb-nya, hendaklah ia mengerjakan perbuatan baik dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.“ QS. 18: 110
Kehati-hatian ini sebagai cerminan sikap ikhlas kita,
meskipun tidak jarang kita khilaf dan menyimpang dari niat semula. Namun,
dengan memahami seluk beluk penyakit hati ini, diharapkan kita dapat mengambil
sikap yang benar.
- Memohon petunjuk kepada Allah agar menetapkan hati kita dalam ikhlas. Karena hanya Dia-lah yang berkuasa menurunkan hidayah dan menyelamatkan kita dari godaan syetan yang selalu menghembuskan kejahatan yang dapat membinasakan manusia. Tidak sedikit manusia yang terjerumus pada riya dan syirik yang tersembunyi, sebagaimana diperingatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya: ”Barangsiapa yang shalat dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan barang siapa yang shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan demikian juga, barangsiapa yang bersedekah dengan riya sesungguhnya ia telah melakukan syirik, karena Allah ‘azza wajalla berfirman (dalam Hadits Qudsi): ”
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ikhlas artinya
membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai maksud
dan niat lain. Atau mengesakan hanya Allah-lah sebagai tujuan dalam berbuat
kebajikan, yaitu dengan menjauhi dan mengabaikan pandangan mahluk serta tujuan
keduniaan dan senantiasa berkonsentrasi kepada Allah semata
Jadi ikhlas merupakan sesuatu
hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan soleh. Ia
merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal
perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal
perbuatan itu adalah rahsia yaitu keikhlasan.
membersihkan amal perbuatannya daripada
‘ujub, riya’, hubb al-dunya, hasad, takabbur dan
sebagainya dengan mengerjakan amal soleh semata-mata kerana Allah maka dia
disebut sebagai seorang mukhlis (beramal dengan penuh keikhlasan) dan
perbuatannya itu adalah ikhlas
DAFTAR
PUSTAKA
M. Khatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Pengajian
Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta : Pustaka Bulan Bintang, t t
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Pustaka
Paramadina, 1992
http://www.facebook.com/notes.php?id=112688895422012.
akses 15 juni 2010
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=185.
akses 15 Juni 2010
[1] M. Khatib Quzwain (t.t), Mengenal Allah: Suatu
Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta : Pustaka Bulan
Bintang, h.94-95
[2] Nurcholish Madjid (1992), Islam Doktrin dan
Peradaban. Jakarta :
Pustaka Paramadina.hal 50
[3] http://www.facebook.com/notes.php?id=112688895422012.
akses 15 juni 2010
[4] http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=185.
akses 15 Juni 2010
[5] http://www.alsofwah.or.id/index.php.
Akses 15 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar