BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad , ia
merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum
Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik
dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang
tidak terlepas dari aspek sosio cultural masyarakat Arab saat itu. Sebab,
diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan
problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam
yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi
hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti
tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh
Wa al-Mansukh dan yang lainnya
serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Al-Nasakh Wa
al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki
kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu
memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih
berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan
bagaimana sebenarnya Al-Nasakh
Wa al-Mansukh. Namun demikian
harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang patut
mendapatkan pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan maupun
conten dari makalah. Dengan demikian kita akan memperoleh pemahaman yang
holistik terhadap Al-Nasakh
Wa al-Mansukh.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pengertian Al-Nasakh Wa
al-Mansukh?
2.
Bagaimanakah cara mengetahui Al-Nasakh Wa
al-Mansukh?
3.
Sebutkan macam dan jenis Al-Nasakh Wa
al-Mansukh?
4.
Apakah hikmah dari Al-Nasakh Wa
al-Mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Nasakh
Wa al-Mansukh
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus,
menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan
dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam
yaitu : pertama الازلة: yang berarti
hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering
berkata نسحت الشمس الظل (Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang).
Kedua نقل الشيئ الى موضع .yaitu
memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga
merujuk pada QS.al-Jaziyah:29
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu danmenggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu danmenggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh
: S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah
jika
akan menghadap rasul menjadi bebas.
b.
Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum
syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5
dan al-Baqorah :106
c.
رفع
الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه artinya mengangkatkan hukum syara’
dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya
Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam
al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat
yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus,
dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم
المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS.
Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Artinya
:”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma’ruf[ (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan
diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa
al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara
eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a)
Hukum yang di Mansukh adalah hukum
Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun
yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan
al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib,
Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b)
Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga
harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT
dalam QS. Al-Nisa’: 59
c)
Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah
dalil yang di hapus.
d)
Terdapat kontradiksi atau pertentangan
yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
B. Cara Mengetahui Al-Nasakh
Wa al-Mansukh
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa
al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk
mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa
al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
1)
Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi
atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2)
Terdapat kesepakatan umat antara ayat
yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil
tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada
ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3)
Di ketahui dari salah satu dalil nash
mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang
Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
C. Urgensitas Al-Nasakh
Wa al-Mansukh
Dalam Kajian Hukum Islam Terdapat alasan yang mendasar
mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat
kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
a.
Terkait status hukum Islam.
b.
Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh
terkait dalam proses istinbath Hukum.
c.
Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.
d.
Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
e.
Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
f.
Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
D. Macam Dan Jenis Nasakh
Para
ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
a.
Nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis
Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan
kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.
Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalamsurat
al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13
b. Nasakh Qur’an dengan Sunah
Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam
b. Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh
jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Nasakh Qur’anv dengan Hadis Ahad.
Menurut
Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah Muatawatir
dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ).
Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di
hapus oleh sesuatu
yang masih bersifat dugaan (Dzan)
2. Nasakh Qur’an
dengan Hadis Mutawatir.
Jumhur ulama’, Menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh
jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di
dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman
Allah yang terdapat
dalam QS. Al-Baqarah:106
c. Sunah dengan Qur’an
Bagi
Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan
Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل
رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر
(رواه بخارى ومسلم)
Artinya
: dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika
diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada
pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS.
Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak
dapat diterima, sebab antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan
tidak boleh bertentangan. Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin
mana kala ada Hadis yang bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini
juga mengisyaratkan bahwa adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan
dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada
dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
d. Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis
Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
Mutawatir dengan Mutawatir
Ahad dengan Ahad
Ahad dengan Mutawatir
Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi
masalah menjadi bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali
jenis yang ke empat yaitu Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak
terlepas dari tingkat nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.
D. Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an
Al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi
Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3 macam, yaitu :
1.
Pertama Nasakh Tilawah (bacaan) beserta
Hukumnya.
Artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus
sehingga tidak dapat kita jumpai lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi
debatable, sebab apakah mungkin hal yang demikian itu terjadi. Tentunya
keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis
Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam
literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat
Muslim yang menyatakan bahwa :
كان فيما أنزل عشر
رضعات معلومات فنسخن بخمسى معلومات. فتف فى رسول الله ص.م. (وهن مما يقرأ من
القران)
Menurut
Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan
jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat
bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah
dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar
ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar
Muatawatir.
2.
Kedua
Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.
Contoh Nasakh ini adalah ayat idah selama satu tahun yang di
Nasakh menjadi 4 bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:
240
Artinya
: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat
tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234
Artinya
: “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut
yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini
adalah :
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3.
Nasakh
tilawah sedangkan hukum tetap.
Keberadaan
Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab.
Yang menyatakan :
كان فيما انزل من الق ران الشيخ والشيخة اذأ
زنيا فارجمو هما البتة نكالا من الله
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari
lafalnya dalam Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya,
sebab ayat tersebut sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang
tua ) masih tetap berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak
dapat di terima, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan
memastikan turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
F. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1. Nasakh berpengganti
Di
lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a. Nasakh dengan
badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )
b. Nasakh dengan
badal Mumatsil ( pengganti serupa )
c. Nasakh dengan
badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).
2. Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat
dalam penghapusan kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap Rasul
sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13
G. Pandangan para ulama terhadap Al-Nasakh
Wa al-Mansukh
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah
diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh
sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan
aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh
karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama
tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah :
1.
Nasakh secara akal bisa terjadi dan
secara sam’I telah terjadi.
Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur
ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidakv
bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah
pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk
menghapus ataupun tidak.
Adanya
Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a.
Dalam Qur’an surat
an-Nahl : 101
b.
QS. Al-Baqarah:106
c.
Hadis Dari Ibn Abbas yang menyatakan :
قال عمر رضى الله عنه.
اقرؤنا ابى واقعنانا وانا لتدع من قول ابى وذاك ان أبيا يقول: لا ادع شئا سمعته من
رسول الله ص.م. وقد قال الله عز وجل ننسخ من ايته اوننسها….(رواه ابن عباس)
2.
Nasakh secara akal mungkin terjadi namun
secara syara’ tidak.
Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia
berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.
Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
3.
Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal
maupun pandangan.
Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan
kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah
SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di
FirmankanNya.
H. Hikmah Al-Nasakh
Wa al-Mansukh
Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian
Nasakh dan Mansukh memiliki hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut
dapat kita petakan menjadi 2 macam yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara
khusus yang merujuk pada jenis penggati hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah
:
a. Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa
al-Mansukh adalah :
1)
Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah
Syari’at yang sempurna.
2)
Memelihara kepentingan hamba.
3)
Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti
ataupun tidak mengikuti.
4)
Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap
kondisi umat manusia.
5)
Kemudahan dan kebaikan bagi umat.
b. Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa
al-Mansukh di lihat dari segi penggantinya adalah:
1)
Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah
untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan
bersedekah ketika menghadap Rasul.
2)
Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya
adalah menentukan hukum baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk
menghadap Baitul Maqdis yang di
3)
Nasakh menghadap Ka’bah.
4)
Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya
adalah untuk menambah kebaikan dan pahala umat.
5)
Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya
adalah sebagai bentuk dispensasi bagi umat manusia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau mengganti hokum yang
telah terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT. Sedangkan Mansukh adalah
hukum yang dibatalkan atau yang di ganti.
2.
Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang
telah
di tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :
a.
Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat
b.
Terdapat kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh
c.
Diketahui dari sala satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
3.
Jenis Nasakh terdiri atas :
a. Nasakh al-Qur’an
dengan al-Qur’an
b. Nasakh al-Qur’an
dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an dengan Hadis
Mutawatir
c. Nasakh Sunah
dengan Qur’an
d. Nasakh Sunah
dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan Ahad,
Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
4.
Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an adalah terdiri atas :
a. Nasakh Tilawah
dan hukumnya sekaligus
b. Nasakh Hukum
sedangkan Tilawahnya tetap
c. Nasakh Tilawah
sedangkan Hukumnya tetap
5.
Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi penganti
hukumnya bisa di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan pengganti yang
setara (Amtsal ), kedua dengan pengganti yang lebih berat ( Astqol ) ketiga
dengan pengganti yang lebih ringan ( Akhof )
DAFTAR PUSTAKA
Djalal,
H. Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu,
1998
Marzuki,
Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung
: PT. Remaja Rosdakarria, 1992
Syadali,
Ahmad, ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia,
2000
Al-Qattan,
Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an,
alih bahasa Mudzakir As Bogor : Litera Antaranusa, 2007
http://kajianislam.wordpress.com/2007/06/26/soal-nasikh-dan-mansukh/.
Akses tanggal 15 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar