BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang
bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek
bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya,
dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah
peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan
ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa
bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan
demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan
hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat
mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum
yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan
qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut
qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan
sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum
syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci.
Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan
hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang
penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah
lafadz ‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh
khas secara lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimanakah pengertian lafadz 'Aam dan bagimana dilalah lafadz nya?
- Bagaimana bentuk ( shigat ) lafadaz 'aam?
- Bagaimanakah pengertian lafadz Khas dan dilalahnya?
- Bagaimanakah pengertian Takhsis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafadh ‘Am
1. Pengertian Lafadh ‘Am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum;
dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum,
terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan
pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala
sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang
luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam
jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh
maupun makna” (Hanafiyah),
“Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna
atau lebih” (Al-Ghazali),
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh
tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi)[1].
menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu
lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih" [2]
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah
(indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah, dan
yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus, mempunyai
dilalah yang khusus
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm
itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh
karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam
Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya
berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar
hadis:
“Allah tidak
menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib
pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”.
Hadits ini menunjukkan keharusan tertib
dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat mu’akadah
saja.
2. Bentuk-Bentuk Lafadz ‘Am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, dalam hal
ini tidak ada perbedaan pendapat para ulama’ dalam pembagiannya, bentuk lafadz
itu diantaranya[3]:
a. Lafadz كل (setiap) dan جميع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah;
@ä.
<§øÿtR èps)ͬ!#s ÏNöqpRùQ$#
"Tiap-tiap
yang berjiwa akan mati". (Ali 'Imran, 185)
uqèd Ï%©!$#
Yn=y{
Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_
"Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang
ada di bumi secara keseluruhan (jami'an)". (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل dan جميع tersebut di atas, keduanya mencakup
seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam
di awalnya. Seperti:
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$
"Para ibu
(hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang
ingin menyempurnakan penyusuannya". (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang
mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma'rifatkan dengan
alif-lam.
Contoh:
3 ¨@ymr&ur
ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" (Al_baqarah: 275).
Lafadz al-bai' (jual beli) dan al-riba adalah kata benda
yang di ma'rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz
‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma' al-Mawshul. Seperti ma, al-ladhina,
al-lazi dan sebagainya.
Salah satu contoh adalah firman Allah:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß
$yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't
Îû
öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
cöqn=óÁuyur #ZÏèy
"Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina)
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala". (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma' al-Syart} (isim-isim isyarat, kata
benda untuk mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
4 `tBur
@tFs%
$·YÏB÷sãB
$\«sÜyz ãÌóstGsù
7pt7s%u 7poYÏB÷sB
×ptÏur îpyJ¯=|¡B
#n<Î)
ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Át 4
"dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah".(An-Nisa':92)
f. Isim Nakirah dalam susunan kalimat nafi'
(negatif),
seperti kata ولا جناح
dalam ayat berikut:
4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4
"dan tidak
ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya".
(Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah Lafadz ‘am
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah
al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting.
Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am
bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat,
bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai
ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah,
berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di
dalamnya. Demikian pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa
satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya,[4]
sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: "Setiap
dalil yang ‘am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan mereka
didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar