Cari Blog Ini

Rabu, 29 Februari 2012

Makalah Ushul Fiqh DALALAH AL-'AM, KHAS DAN TAHKSIS


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz ‘am dan lafadz{ khas. Makalah ini akan membahas lafadz ‘am dan lafadh khas secara lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah pengertian lafadz 'Aam dan bagimana dilalah lafadz nya?
  2. Bagaimana bentuk ( shigat ) lafadaz 'aam?
  3. Bagaimanakah pengertian lafadz Khas dan dilalahnya?
  4. Bagaimanakah pengertian Takhsis?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafadh ‘Am
1. Pengertian Lafadh ‘Am
 ‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah),
“Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali),
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi)[1].
menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih" [2]
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:
 “Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”.
Hadits ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat mu’akadah saja.
2. Bentuk-Bentuk Lafadz ‘Am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat para ulama’ dalam pembagiannya, bentuk lafadz itu diantaranya[3]:
a. Lafadz كل (setiap) dan جميع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah;
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 
"Tiap-tiap yang berjiwa akan mati". (Ali 'Imran, 185)
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_
"Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami'an)". (Al-Baqarah:29)
Lafadz كل  dan جميع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
 ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$
"Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya". (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma'rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al_baqarah: 275).
Lafadz al-bai' (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma'rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadz Asma' al-Mawshul. Seperti ma, al-ladhina, al-lazi dan sebagainya.
Salah satu contoh adalah firman Allah:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy
"Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala". (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma' al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan),
seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Átƒ 4
"dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah".(An-Nisa':92)
f. Isim Nakirah dalam susunan kalimat nafi' (negatif),
 seperti kata  ولا جناح  dalam ayat berikut:
4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 Ÿ
 "dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya". (Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah Lafadz ‘am
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi'iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya,[4] sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: "Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish". Selain itu di kalangan mereka didapat pula satu faedah yang lain yang berbunyi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar